Mardliyah, Sabtu 13 Desember 2008
Iman dan Bahagia
Dinamakan orang beriman jika merasakan kenikmatan dalam menjalankan perintah dan kenikmatan dalam meninggalkan larangan. Orang beriman juga merasakan kenikmatan sesama manusia dengan muhasarah bil hubb/interaksi dengan cinta baik itu kepada orangtua,ayah, ibu, bibi,paman, kakak, adek dan sesama mukmin. Namun tak jarang pula terjadi interaksi/muhasarah bil bughni atau kebencian. Like or dislike kedua interaksi tersebut akan selalu ada dalam kehidupan. Misalnya ada seseorang yang istiqomah dalam kebaikan, ada yang tidak senang dan senang terhadap keistiqomahan orang tersebut. Bughni/kebencian muncul jika dalam hal prinsip berbeda. Didalam kebencian sendiri ada kenikmatan dalam menjaga dan mempertahankan prinsip. Tidak terganggu sikap dan perhatiannya dari sikap buruk orang lain yang berbeda. Misalnya mungkin wajah orang lain marah dan sebagainya prinsipnya tidak berubah.
Nasihat Luqman Hakim” dan berkatalah dengan qaulan karima”, tidak mudah terpancing emosi. Menurut Yusuf Qardhawi, mengisahkan tentang wanita dan kebahagiaan. Suatu ketika sang suami marah dan mengatakan ingin merebut kebahagiaan sang isteri, isterinya mengatakan bahwa kebahagiaannya tak bisa direbut. Sang suami ingin menceraikannya dan tidak memberikan nafkah padanya. Sang isteri mengatakan bahwa kebahagiaanya tidak terletak pada harta maupun manusia tetapi kebahagiaan itu ada dihatinya, ia bahagia datangnya dari Allah, karena Allah jadi tak seorangpun dapat mengambilnya kecuali Allah. Mendengar itu sang suami takjub dan tergetar, sadar dan menyadari kekhilafannya. Itulah iman. Tak ada yang dapat membuat bahagia kecuali iman. Bahagia karena iman bermakna apapun yang akan kita alami adalah nikmat meski boleh jadi dalam pandangan umum bisa disebut nasib buruk. Ada yang ditakdirkan jadi tukang sapu ada yang dijadikan takdirnya sebagai guru. Jika tukang sapu beriman maka ia akan tetap menikmati apa yang dialaminya. Dia tidak boleh iri hati dengan guru. Iri boleh asalkan bukan karena hal-hal yang bersifat duniawi yakni yang bersifat ukhrawi sehingga mendorong untuk lebih banyak beramal shalih sebagai bekal di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar