Sabtu, 04 Desember 2010

Belajar dari Air

Belajar dari Air

Ada peribahasa air beriak tanda tak dalam, ada juga peribahasa air yang tenang menghanyutkan. Semua peribahasa memiliki makna tersendiri. Air memiliki banyak filosofi. Air juga memiliki filosofi banyak mengandung hikmah. Hikmah adalah milik kita yang hilang maka keberadaannya kembali ke tangan kita perlu diupayakan. Salah satu caranya misalnya mengambil hikmah dari air karena air banyak mengandung hikmah.

Guru seshalih apapun memberi ilmu kepada kita masih dalam bentuk “padi”. Butuh proses selanjutnya agar bisa dinikmati (agar berbentuk nasi). Karenanya kita diharuskan berikhtiar untuk memanfaatkan ilmu tersebut. Ilmu jangan hanya ditumpuk karena memori akal kita lama-kelamaan akan penuh. Agar padi menjadi nasi membutuhkan tiga alat atau tiga proses yakni alat pemotong/perontok padi menjadi gabah., alat pemisah/penggiling gabah menjadi beras, dan alat berupa panci/kompor untuk mengubah beras menjadi nasi.

Filosofi dari tiga proses tersebut bisa menjadi pelajaran kalau kita ingin merubah ilmu menjadi siap pakai (dapat dinikmati), yakni:

1. Perubahan padi menjadi gabah artinya kita menjadi orang yang tidak tergantung pada apapun dan siapapun kecuali Allah. Untuk itu kita harus punya mesin yang memisahkan kita dari ketergantungan pada selain Allah, yakni mesin Tauhid (Hanya mengagungkan Allah/ta’dhim).

2. Perubahan gabah menjadi beras artinya kita tidak takut pada apapun dan siapapun kecuali takut kepada Allah/khauf. (Melepaskan segala ketakutan kepada selain Allah)

3. Perubahan beras menjadi nasi artinya kita ridho menjalani kesusahan hidup. Panci ibarat komunitas/jamaah sedang kompor pemanas adalah ujian-ujian hidup yang mesti dilewati.

Jikalau semua proses berjalan lancar, maka nasi siap disantap atau ilmu siap pakai. Namun kadangkala ada proses yang tidak berjalan lancar. Misalnya proses yang pertama dan kedua lancar tapi tidak lancar pada proses yang ketiga. Misalnya tidak ridho ketika diberi kesusahan hidup. Tidak ridho ini akan menjadikan hati menjadi keras, ibarat masak nasi tidak diberi air sehingga nasinya menjadi keras tidak matang. Jadi perlu diberi air yang sesuai ukuran. Pun agar seseorang menjadi ridho terhadap kesusahan hidup perlu mendapat hidayah sabar dan syukur.

Hikmah air yang kita dapatkan disini adalah air yang ditambahkan pada beras yang dimasak akan menjadikan matang. Air dapat diibaratkan hidayah sabar dan syukur. Hidayah sabar dan syukur yang diterima oleh hati yang keras akan menjadikannya lembut dan matang. Nah, perlu koreksi diri disini jika ilmu yang didapatkan dari guru-guru kita banyak tapi belum bisa menikmatinya. Sudahkah mengagungkan Allah SWT saja? Masih takutkah pada selain Allah? Sudah ridhokah dengan kesusahan-kesusahan hidup yang kita alami? Karena hidup adalah proses, maka semua proses harus dijalani dengan terus mencari hidayahNya hingga akhirnya sabar dan syukur melekat dihati. Dan pada akhirnya ibarat nasi siap disantap, ilmupun siap dipakai (dinikmati). Wallahu A’lam.

(Note kajian with Ust Syatori 12 Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar